
“Duh Mama kenapa sih? Buat apa sih tiap hari repot-repot pakai baju yang kayak terowongan dan segede sarungnya Papa? Kan gerah Ma~”
Yuuko Aoyama, gadis kecil berusia tujuh tahun tersebut berkali-kali menolak apabila Mamanya menyuruhnya memakai jilbab jika hendak keluar rumah. Dia ingat betul dengan olokan teman-temannya yang mengatakan kampungan, norak, terbelakang, ketinggalan trend, dan bla bla bla saat mengomentari model pakaiannya. Dan kalau sudah begini sang Mama hanya bisa tersenyum sambil mengelus kepala Yuuko dengan kasih sayang. Tentu Mamanya mengerti karena pernah merasakan hal serupa.
“Yuu-chan, kan Mama sudah pernah bilang ini hanya untuk latihan dan penyesuaian diri kamu nantinya. Jalani dengan santai saja ya? Seperti shalat jamaah dengan Papa tiap harinya. Lagipula jilbab biru laut ini modelnya bagus, warna kesukaan kamu lagi.”
Yang ada Yuuko memanyunkan bibirnya, gadis kecil itu memang manja dengan Papanya dan kebetulan beliau sedang sibuk bertugas di kantor kepolisian sehingga parameter ngambeknya berlipat ganda. Singkatnya Yuuko lebih patuh pada perkataan Papanya.
“Masa Cuma mau mengantarkan bekalnya Papa harus pakai sarung begitu sih Ma?” tanya Yuuko lagi.
“Bukan sarung sayang.” Sang Mama tertawa. “Tapi jilbab.”
“Bukannya pakai kerudung sudah cukup Ma?”
“Lho, Mama dulu bilang apa sayang? Muslimah itu wajib menutup aurat dengan memakai apa?”
Gadis mungil itu menaruh telunjuknya di dagu dan memandang ke atas sambil berpikir. “Memangnya jilbab sama kerudung beda ya Ma?”
“Beda Yuu-chan, jilbab itu untuk menutupi seluruh tubuh, kalau kerudung untuk menutupi kepala sampai dada. Kamu tahu, kalau Papa lihat kamu pakai jilbab pasti Papa senang.”
Mata Yuuko langsung berbinar. “Beneran Ma?”
“Benar sayang, bohong itu kan dosa. Ayo berangkat, nanti kita bisa terlambat.”
Setelah memakai jilbab dan kerudung dengan rapi Yuuko dituntun membaca doa keluar rumah oleh Mamanya kemudian berjalan pelan menuju halte untuk menaiki bus ke kantor sang Papa.
^^
“Loh? Aku ada di mana?” ketika Yuuko membuka mata yang ada di sekelilingnya adalah sebuah desa yang tenang dan belum pernah ia lihat sebelumnya, padahal tadi dia asyik memakan jeruk yang dikupaskan Mamanya di dalam bus.
“Kamu siapa?” saat Yuuko berbalik ia melihat seorang gadis kecil berjilbab biru tua dan kerudung berwarna ungu muda dengan tatapan mata yang hangat, kelihatannya seumuran dengannya.
“Perkenalkan, aku Hinata Hyuga, kamu?”
“Namaku Yuuko Aoyama. Eh sebentar, kamu kan….” Yuuko mendekat dan memperhatikan Hinata dari ujung sepatu sampai ujung kepala. Tidak salah lagi, dia orang yang mirip di animasi yang sering ditontonnya menjelang Magrib. Biasanya Mamanya langsung mematikan televisi jika Yuuko keterusan nonton dan mogok shalat. Hanya bedanya Hinata yang ini muslimah banget.
‘Kok dia engga malu ya pakai jilbab? Apa engga diolok temennya ya?Aku aja harus dipaksa dulu sama Mama baru mau pakai,’ batin Yuuko bingung.
“Ada apa?” tanya Hinata yang membuyarkan lamunan Yuuko.
“Eh engga..eng..Cuma Hinata kok engga mirip kayak di televisi? Kenapa pakai jilbab sama kerudung?” tanya Yuuko heran dan Hinata Cuma tersenyum.
“Soalnya kalau engga pakai, Mama bawel terus, pusing aku dengernya. Papa juga senang lihat aku pakai ini, katanya cantik. Terus kalau engga nurut sama orang tua kan kita dosa, nanti Allah bisa marah.”
“Terus terus?” Yuuko yang tadi angguk-angguk mendengar jawaban Hinata pun tanya alasannya lagi.
“Kalau Allah marah nanti bisa masuk neraka, nggak bisa ketemu Papa dan Mama.”
Kali ini Yuuko pun tersenyum. Teringat dengan ceramahan Papa dan Mamanya. Ternyata banyak Papa dan Mama lain yang ceramahannya sama seperti orang tuanya.
“Yuk cepetan, nanti ketinggalan.” Hinata tiba-tiba menarik tangan Yuuko dan berjalan cepat ke suatu tempat.
“Loh? Kita mau ke mana?”
“Ke masjid, shalat Dhuhur berjamaah. Tuh udah adzan.”
“Oh, biasanya aku shalat sama Papa dan Mama di rumah. Kalau di masjid Cuma pas Idul Fitri dan Idul Kurban.”
Hinata tersenyum lalu mengeratkan pegangan tangannya saat memasuki wilayah shalat putri. Merekapun wudhu bersama kemudian shalat jamaah dengan tenang. Setelahnya Yuuko kembali mengamati Hinata yang terlihat amat khusyuk berdoa.
“Kamu ngapain?”
“Doain Papa sama Mama.”
“Buat apa?” Hinata terkejut mendengar pertanyaan Yuuko barusan lalu memegang kedua bahu gadis kecil itu.
“Papa dan Mamamu engga bilang kalau doa itu penting? Kalau kita engga pernah berdoa minta pertolongan sama bersyukur kepada Allah nanti kita jadi anak nakal lho.”
Yuuko mengerutkan keningnya. “Terus?”
“Kalau jadi anak nakal nanti Papa dan Mama diambil Allah loh.”
“Astagfirullah…” Yuuko langsung istigfar sambil mengelus dadanya. Ia pernah ingat sedikit kalau setelah shalat maka Mamanya menyuruh untuk mengamini doa yang diucapkan Papanya. Tapi ia sering lupa, habis shalat langsung ngacir dan nonton televisi yang tadi dimatikan paksa Mamanya. Tidak heran Yuuko sering ngambek karena kedisiplinan Mamanya yang menurutnya kadang-kadang lebay itu.
“Kamu engga apa-apa?” tanya Hinata lagi sambil memegang tangan Yuuko.
“Eum,” jawab Yuuko singkat sambil tersenyum tipis. Setelahnya mereka keluar dari masjid karena beberapa teman Hinata yaitu Sakura, Ten Ten, Temari, dan Ino sudah memanggil-manggil. Tak berapa lama mereka heran karena melihat gadis mungil berjilbab biru laut yang bersembunyi di belakang Hinata.
“Eh temen-temen, kenalin. Ini Yuuko, temen baruku. Ayo perkenalkan diri kamu,” ujar Hinata agar Yuuko mau menyapa teman-temannya.
“Uhm..Yuuko Aoyama, salam kenal ya.” Gadis itu membungkuk singkat usai memperkenalkan diri dan Sakura pun memeluknya.
“Aku Sakura Haruno, salam kenal ya. Wah…kamu manis sekali pakai jilbab biru.”
“Eum terima kasih, kamu juga cantik.” Yuuko tersenyum sambil melihat kebanyakan temannya memakai busana seperti dirinya, ia merasa bahagia mendapat teman yang sejalur dengannya.
“Tuh denger Ino-chan, temen baru kita aja udah dapet hidayah, kamu kapan?” ujar Sakura sambil melirik ke arah gadis mungil yang memakai pakaian serba minimalis dan tengah melipat kedua tangannya di depan dada.
“Iya tuh, insyafnya kalau shalat. Padahal kan Allah hadir engga Cuma pas kita shalat doang,” cerocos Ten Ten yang membuat Ino memainkan rambut blonde panjangnya dengan tatapan sebal.
“Ish, terserah dong. Yang penting aku engga merugikan kalian dengan kebebasan yang pengen aku lakuin,” jawab Ino acuh tak acuh.
Yuuko kembali menaruh telunjuknya di dagu dan memandang ke atas sambil berpikir. Tak lama ia menyela dengan halus percakapan teman-teman barunya itu dan menatap Ino lembut.
“Anu…kata Mama arti namaku adalah anak yang bebas, tetapi Mama engga pengen aku kelewat bebas seperti anak berandalan, tetapi Mama dan Papa memberiku nama ini agar bebas mempedulikan siapapun di dunia ini dengan mengingatkannya ke jalan yang benar…” ujarnya agak takut tapi Sakura tersenyum dan menanggapi ucapan Yuuko.
“Berarti kamu juga bebas memberikan cinta dan kasih sayangmu pada siapapun yang membutuhkannya?”
“Eum, cinta itu kan engga terbatas. Kalau cinta terbatas kan yang bisa merasakan Cuma dikit dan kesannya percuma. Terus kalau engga ada cinta, engga ada kepedulian, kata Mama dunia bakalan sepi banget,” tambah Yuuko dengan senyuman.
“Wah…keren banget ya, berarti Papa sama Mamamu pengen kamu jadi pendakwah dong?” tanya Temari antusias.
“Pendakwah?” Yuuko bingung, karena baru pertama kali mendengar istilah itu.
“Iya!” jawab Temari semangat. “Kayak Rasulullah yang peduli pada siapapun di dunia ini. Beliau membagikan cintanya dan menyebarkan keindahan Islam lewat jalan dakwah, nanti semua orang bisa hidup bahagia dan masuk Surga Allah.”
“Beneran nih?” tanya Yuuko tak percaya.
“Beneranlah.” Temari merangkul Yuuko dengan gembira. “Kalau kita mencontoh suri tauladan kita nanti kita juga bisa membahagiakan banyak orang. Papa sama Mama pasti bangga, Allah juga bakalan tambah sayang sama kita jadi kita bebas masuk ke Surga lewat pintu manapun yang kita mau lho.”
Para muslimah tersebut ikut tergerak semangatnya oleh ucapan Temari dan secara tidak sadar tersenyum sambil membayangkan betapa indahnya masa depan mereka nanti jika menaati aturan Allah.
“Ah iya yah, kita kan Cuma disuruh denger dan taat, engga ada yang lain. Aku harap Ino-chan juga berpikir kayak gitu.” Hinata melempar senyum pada Ino yang menunduk malu.
“Iya deh, nanti kalau mau keluar rumah aku pakai jilbab dan kerudung biar Allah sayang sama aku. Hmm…Sakura juga tuh.”
“Loh? Kenapa aku?”
“Ituloh, cinta kan engga terbatas jadi jangan Cuma peduli sama Sasuke doang. Ingat tuh, cinta yang abadi Cuma kepada Sang Pencipta, kalau Sasuke udah engga ada bakalan habis tuh taqwa gara-gara alasan rajin ke masjidnya hilang ” balas Ino cukup sengit.
“Idih sok banget sih, sebagai manusia kan semuanya punya kekurangan tapi pelan-pelan dibenahin biar jadi muslimah cemerlang,” sahut Sakura sambil mengacungkan jempolnya penuh percaya diri.
“Hahaha…” mereka tertawa renyah melihat pertengkaran kecil yang sebenarnya percandaan ringan dan kepedulian untuk saling mengingatkan.
“Udah deh udah. Gimana kalau kita janji buat saling mendakwahi? Karena kita saling menyayangi dan saling butuh, kali aja ada yang tomat di tengah jalan,” usul Sakura sambil merangkul Ino dan Yuuko kembali.
“Anu…tomat apa ya Sakura-chan?” tanya Hinata polos dan gadis mungil berambut merah jambu itu tertawa kecil.
“Hehe, tobat maksiat maksudku.” Sakura mencubit pipi Ino saat mengatakannya dan membuat mereka bertengkar kecil lagi.
“Eh udah jangan ribut lagi, mending kita buat ‘lingkaran berjuang’ yuk?” tukas Ten Ten semangat.
“Oh iya iya, aku pernah lihat di televisi, keren banget,” kata Temari.
“Bener tuh, aku juga pengen nyoba,” balas Ino kemudian.
“Baiklah kalau begitu, semua letakkan tangannya!” seru Sakura berapi-api. Merekapun saling bertatapan lantas membuat sebuah lingkaran lalu menaruh tangan kanan mereka ke depan sehingga bertumpukan. Lagi-lagi si gadis tomboy itu memimpin.
“Yapp mulai sekarang kita adalah teman seperjuangan, saling menyayangi dan mengingatkan. Jangan sampai lupa pada agama kita karena dakwah adalah cinta. Takbir!”
“Allahu Akbar!!”
^^
“Yuu-chan? Sayang? Ayo bangun, kita hampir sampai di kantor Papa.”
Sayup-sayup Yuuko mendengar suara lembut Mamanya, perlahan ia membuka matanya dan terlihatlah dengan jelas wajah malaikat yang setiap hari mempedulikannya. Yuuko yang tadinya tidur di pangkuan sang Mama pun duduk dan memeluknya erat.
“Mama maaf…aku malu karena pakai jilbab sendirian, tapi harusnya aku engga boleh nyerah..aku harus nyari temen yang sejalan seperjuangan denganku. Aku mau pakai jilbab sama rajin ibadah karena pengen nurut sama Allah, aku engga mau Papa sama Mama diambil Allah karena kenakalanku…”
Sang Mama pun tersenyum dan mencium kening Yuuko. “Jadi Yuu-chan sudah mengerti sekarang?”
“Eum, Mama nasehatin aku karena Mama sayang aku kan? Wah keren nih, Temari sama Sakura bener banget, katanya semua ini love sign alias tanda cinta.” Yuuko tersenyum lebar padahal Mamanya tengah mengerutkan kening karena ingat nama teman yang disebut Yuuko adalah tokoh kartun animasi yang menjadi favorit putrinya ketika jika hari beranjak senja.
“Temari? Sakura?”
“Iya Ma! Ituloh mereka pasti muncul di acara televisi waktu sore . Engga Cuma itu, aku juga berkawan sama Hinata, Ino, dan Ten Ten. Mereka temen seperjuanganku, kami sudah janji akan saling mengingatkan walau apa pun yang terjadi!” kata Yuuko dengan semangat level tinggi.
“Oh..begitukah? Kapan-kapan ajak mereka main ke rumah ya? Syukur-syukur mengaji bersama nanti.”
“Siap laksanakan, Mama!”
^^
Komentar Terbaru